Rabu, 27 April 2011

faktor-faktor penyebab kesulitan belajar


BAB  VIII
KESULITAN BELAJAR

A.    PENGERTIAN DAN FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KESULITAN BELAJAR
Kesulitan belajar (learning disabilities) merupakan sutau konsep muiltidisipliner  yang digunakan dalam ilmu pendidikan, psikologi dan dalam ilmu kedokteran. Ada beberapa istilah yang mengarah pada istilah kesulitan belajar, yaitu  disfingsi otak minimal (minimal brain disfunction),  gangguan neorologis (neorogical disorders) dialeksia ( dyslexia), dan afasia perkembangan  (developmental aphasia)
            Pada tahun 1963 nama-nama tadi disatukan menjadi kesulitan belajar (learning disabilities) oleh Samuel A. Kirk.[48] Konsep inilah yang selanjutnya digunakan secara luas di negara-negara maju seperti Amerika Serikat.
            Sedangkan definisi kesulitan belajar adalah suatu gangguan dalam suatu atau lebih proses psikologis yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa ujaran dan tulisan. Gangguan itu dapat berupa kesulitan berpikir, berbicara, membaca, menulis mengeja atau berhitung. Definisi ini meliputi keadaan-keadaan seperti gangguan-gangguan perseptual, gangguan pada otak, dialeksia, dan afasia perkembangan. Definisi ini tidak mencakup anak-anak yang mempunyai problema belajar yang disebabkan oleh hambatan dalam penglihatan, pendengaran, atau gangguan motorik, gangguan kejiwaan, kemiskinan baik secara budaya maupun ekonomi.[49] 
            Definisi  diatas adalah definisi yang dikeluarkan oleh The United States  Office of Education (USOE) pada tahun 1977. Definisi itulah yang digunakan dalam masyarakat Amerika Serikat.
            Namun demikian, karena banyaknya kritik terhadap definisi tersebut, maka The National Joint Committee for Learning Disabilities (NJCLD) merumuskan bahwa kesulitan belajar adalah kesulitan nyata dalam kemahiran dan penggunaan kemampuan mendengar, berbicara,  membaca, menulis, berpikir, kemampuan matematis. Gangguan itu dapat karena disfingsi sistem saraf pusat.[50] 
            Dalam bahasa yang sangat sederhana dan ringkas, kesulitan belajar itu dapat disebutkan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat melakukan proses belajar sebagaimana mestinya.[51]

B. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESULITAN BELAJAR
Sedangkan faktor yang menyebabkan terjadinya kesulitan belajar adalah sebagai berikut:
  1. faktor intern, yaitu faktor yang terjadi dari dalam individu yang terdiri dari :
-       kesulitan belajar yang disebabkan oleh sakit dan fisik yang kurang sehat. Jika seseorang mengalami gangguan kesehatan (sakit),  maka syaraf sensoris dan motorisnya lemah, yang berakibat rangsangan yang diterima melalui inderanya tidak dapat diteruskan ke otak. Seorang petugas diagnosis harus dapat memeriksa kesehatan anak dan memberikan kesempatan untuk medapatkan pelayanan kesehatan yang memulihkan kembali kondisi fisiknya.
-       kesulitan belajar yang disebabkan oleh kondisi fisik yang lemah seperti kurang gizi, lemas, yang mengakibatkan cepat letih, kurang konsentrasi, mengantuk, dan sering pusing. Ini akan mengakibatkan penerimaan dan respon belajar berkurang sehingga saraf tidak mampu bekerja dengan optimal.
-       kesulitan belajar yang disebabkan oleh cacat fisik, yang dapat berupa cacat tubuh ringan seperti rabun dekat, rabun jauh, kurang mendengar  dan cacat tubuh tetap/ permanen seperti buta, tuli, bisu. mereka yang mengalami cacat tubuh ringan harus diperlakukan khusus seperti duduk di depan sehingga dapat melihat  dan mendengarkan dengan jelas subyek pelajaran yang disampaikan guru. Sedangkan mereka yang memiliki cacat tubuh permanen, maka ia harus menjalani pendidikan di lembaga pendidikan khusus untuk mereka, seperti  Sekolah Luar Biasa (SLB).
-       kesulitan belajar yang disebabkan oleh ganggguan yang bersifat psikologis, yang terdiri dari :
-             Intelegensi.
rendahnya intelegensi dapat mengakibatkan anak didik mengalami kesulitan untuk mengikuti subyek pelajaran yang sedang berlangsung, misalnya seorang yang memiliki intelegensi dibawah 90, maka akan mengalami kesulitan untuk menamatkan pendidikan  di Sekolah Dasar, dan begitu juga seturusnya.
-             Bakat.
Seorang yang tidak mempunyai bakat yang sesuai dengan subyek pelajaran yang sedang dipelajari maka akan mengakibatkan kesulitan belajar, karena ia cenderung butuh waktu relatif lama untuk dapat menguasai subyek pelajaran itu.
-             Minat.
Seorang yang tidak memiliki minat terhadap subyek pelajaran yang sedang ia pelajari, maka ia akan tidak merasakan adanya kebutuhan akan pelajaran itu dan ini dapat mengurangi atau menghilangkan keseriusan dan kesenangannya dalam belajar.
-             Motivasi.
Motivasi dapat mengarahkan, mendasari, dan menumbuhkan  perbuatan belajar. Seorang yang mempunyai motivasi tinggi, maka ia akan serius untuk belajar dan sebaliknya seorang yang memiliki motivasi rendah, maka ia akan kurang semangat dan tidak sungguh-sungguh dalam belajar.[52]
  1. Faktor eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar individu yang dapat menyebabkan kesulitan belajar, yang  dapat berupa:
-       faktor keluarga, seperti cara orang tua mendidik anaknya, hubungan orang tua dan anak, keharmonisan keluarga, keadaan ekonomi keluarga.
-       faktor sekolah, seperti kualifikasi guru, hubungan guru dengan muridnya, kompetensi guru—baik kompetensi personal, keompetensi professional, maupun kompetensi moral,  media pengajaran, kondisi gedung, kurikulum, kedisiplinan guru dan lain-lain.
-       faktor lingkungan sosial dan media massa, serta teman bergaul, tetangga, aktivitas di masyarakat, bioskop, televisi, surat kabar, video, dan lain-lain.
Selanjutnya anak didik yang mengalami kesulitan belajar dapat diidentifikasi dengan ciri-ciri sebagai berikut:
  1. menunjukkan prestasi yang rendah dibawah rata-rata yang dicapai oleh kelompok kelas.
  2. hasil yang dicapai tidak sesuai dengan usaha yng dilakukan, misalnya seorang anak yang belajar keras namun hasilnya tetap rendah.
  3. lambat dalam menyelesaikan tugas-tugas di kelas, sehingga ia sering tertinggal dalam pelajaran.
  4. menunjukkan sikap yang acuh, dusta, kurang konsentrasi, kurang semangat.

C.UPAYA MENGATASI KESULITAN BELAJAR
Untuk mengatasi kesulitan belajar yang dialami oleh siswa, maka pertama kali harus dilakukakan identifikasi terhadap keadaan siswa yang menunjukkan kesulitan belajar. Proses identifikasi inilah yang  disebut dengan diagnosis yang bertujuan untuk menentukan jenis kesulitan belajar yang dialami oleh siswa.
Dalam diagnosisis kesulitan belajar anak, dikenal dengan langkah-langkah, yang diantaranya direkomendasikan sebagai berikut:
  1. melakukan observasi yang ditujukan kepada seluruh anak didik di kelas, untuk melihat  prilaku yang tidak wajar ketika proses belajar mengajar berlangsung.
  2. memeriksa kesehatan dan kondisi fisik siswa yang menunjukkan adanya gangguan-gangguan kesehatan.
  3. memeriksa penglihatan, pendengaran siswa yang diyakini mengalami gangguan kedua indera itu.
  4. melakukan tes intelegensi bagi anak yang diyakini memiliki IQ dibawah rata-rata.
  5. melakukan tes diagnostik bidang kecakapan tertentu untuk mengetahui apakah seorang anak mengalami kesulitan di bidang itu. [53]
Selanjutnya Mulyono Abdurrahman mengutip  Barbara Clark, menawarkan pendidikan integratif sebagai suatu sistem pendidikan yang diyakini sebagai upaya mengatasi kesulitan belajar.  Pendidikan tipe ini merupakan upaya integrasi antara pemikiran Barat yang rasional dengan pemikiran Timur yang intuitif. Pendidikan integratif ditafsirkan sebagai pendidikan yang berupaya;
  1. mengintegrasikan antara anak yang tidak normal dengan yang normal,
  2. mengintegrasikan pendidikan luar biasa dengan pendidikan pada umunya.
  3. mengintegrasikan dan mengoptimalkan perkembangan kognisi, emosi,  jasmani dan intuisi.
  4. mengintegrasikan anak didik sebagai makhluk individual dan sekaligus sebagai makhluk sosial.
  5. mengintegrasikan antara subjek / materi pelajaran dengan kehidupan masa depan anak.
  6. mengintegrasikan antara falsafah dan pandangan hidup dengan seni.[54]
Sedangkan Abu Ahmadi menawarkan langkah-langkah untuk mengatasi kesulitan belajar sebagai berikut:
  1. pengumpulan data, yang terdiri dari observasi, kunjungan rumah, case study. case history, daftar pribadi, meneliti pekerjaan anak, tugas kelompok, melaksanakan tes.
  2. pengolahan data yang terdiri dari; identifikasi kasus, membandingkan antar kasus, membandingkan dengan hasil tes dan menarik kesimpuilan.
  3. diagnosis, yang meliputi, keputusan tentang jenis kesulitan belajar anak, faktor- faktor penyebab kesulitan belajar anak, dan faktor penyebab utama kesulitan belajar anak, dengan meminta bantuan dokter, psikiater, pekerja sosial guru kelas, dan orang tua.
  4. prognosis, sebagai follow up dari diagnosis, untuk menentukan  treatment yang harus diberikan, bahan materi yang diperlukan, metode yang digunakan, alat bantu belajar yang diperlukan, waktu dan tempat pelaksanaan.
  5. treatment (perlakuan), dilakukan melalui bimbingan belajar kelompok, bimbingan belajar individual, pengajaran remedial pelajaran tertentu, bimbingan pribadi atas kesulitan belajar secara psikologis, dan bimbingan orang tua.[55]
  6. Evaluasi.




















BAB IX
EVALUASI DAN PRESTASI BELAJAR
A.          EVALUASI BELAJAR
               Evaluasi adalah penilaian terhadap tingkat keberhasilan siswa mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam sebuah program.[56] Pentingnya evaluasi untuk mengetahui apakah tujuan belajar yang telah ditetapkan dapat tercapai atau tidak. Demikian juga melalui evaluasi, guru dapat mengetahui kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh anak didik, yang selanjutnaya dapat ditetapkan keputusan mengenai pengetahuan yang telah diperoleh anak didik dan pada akhirnya merencanakan program yang dapat dilakukan pada proses belajar yang berikutnya.
Evaluasi menempati posisi yang strategis dalam proses belajar mengajar. Karena begitu pentingnya evaluasi, sehingga tidak dapat ditiadakan dalam kerangka upaya meningkatkan mutu pendidikan.[57].
Dalam prakteknya istilah evaluasi sering dikacaukan dengan pengukuran. Pengukuran adalah suatu upaya untuk mengetahui pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh siswa yang diperoleh dari pengajaran yang disampaikan oleh guru. Jadi, pengukuran bersifat kuantitatif, yang bermaksud menentukan luas, dimensi, banyaknya, derajat suatu hal atau benda. Sedangkan penilaian adalah penafsiran dari hasil pengukuran yang nantinya digunakan untuk membuat keputusan-keputusan dalam pendidikan.
Dengan demikian, terdapat hubuangan yang erat antara evaluasi dan pengukuran. Evaluasi memberikan arah pada bidang-bidang mana yang diperlukan pengukuran. Sedangkan pengukuran digunakan untuk memberikan data/ informasi dalam kegiatan evaluasi.
Tujuan evaluasi adalah sebagai berikut:
a.       Tujuan umum, yang terdiri dari:
-          mengumpulkan data yang menggambarkan kemajuan anak didik dalam mencapai tujuan yang ditetapkan.
-          memungkinkan pendidik menilai aktivitas/ pengalaman yang  didapat subyek didik.
-          menilai metode mengajar yang digunakan.
b.      Tujuan khusus, yang terdiri dari:
-          merangsang kegiatan siswa
-          menemukan sebab kegagalan dan kemajuan siswa dalam belajar.
-          memberikan bimbingan sesuai dengan kebutuhan, perkembangan dan minat/ bakat sisiwa
-          memperoleh laporan tentang perkembangan siswa  untuk orang tua dan sekolah.
-          memperbaiki, cara, metode, pendekatan belajar yang digunakan.[58]
-           
  1. ALASAN / DASAR EVALUASI
Sedangkan alasan/ dasar akan pentingnya evaluasi adalah sebagai berikut:
  1. alasan/ dasar psikologis
Alasan atau dasar psikologis  adalah dasar pentingnya evaluasi terhadap upaya-upaya yang dilakukan yang berguna sebagai bahan orientasi untuk menghadapi masa depannya. Secara psikologis anak, harus mengetahui sampai dimana ia telah berusaha menuju tujuan yang ingin dicapainya, yang dapat ditinjau dari dua sisi, yaitu:
-          anak didik.
Dari perspektif anak didik, ia adalah seorang manusia yang belum mencapai tingkat kedewasaan dan kemandirian. Oleh karena itu ia masih membutuhkan penilaian dan pendapat dari orang lain, yaitu guru/ pendidik yang telah membimbingnya. Dengan adanya pendapat/ penilaian yang berasal dari gurunya, anak mempunyai pedoman, pegangan dan kepastian dalam hidup dan ini dibutuhkan untuk menentukan masa depannya.
-          pendidik.
Sebagai seorang pendidik, guru harus mengetahui perkembangan dan hasil-hasil yang dicapai anak didiknya untuk dapat menentukan  langkah- -langkah dan rencana pembelajaran yang akan dilakukan pada masa yang akan datang. Ini dapat dilakukan guru dengan mengadakan evaluasi terhadap hasil belajar anak didik. Disamping itu evaluasi yang dilakukan guru sangat berguna sebagai laporan kepada orang tua dan wali murid, sehingga orang tua mengetahui secara pasti perkembangan belajar anaknya, serta mengambil langkah-langkah  yang diperlukan sesuai dengan hasil evaluasi anaknya tadi.
  1. dasar didaktis.
Dasar didaktis adalah dasar yang berkaitan dengan pengajaran. Dalam perspektif ini murid dan guru dapat mengetahui apakah proses balajar  mengajar yang telah dilaksanakan telah mencapai sasaran dan tujuan yang ingin dicapai ataukah belum. Kalaulah masih gagal mencapai tujuan-tujuan itu, maka kegagalan itu juga adalah kegagalan guru dalam melaksanakan pengajaran. Ini sangat penting diketahui oleh guru agar ia dapat mengoreksi diri apakah  penyampaian materi, metode pengajaran, media pembelajaran, motivasi, telah sesuai dengan standar yang telah ditentukan ataukah masih belum.  Evaluasi  semacam ini sangat berguna untuk membekali guru dalam usahanya mencapai tujuan pendidikan di masa yang akan datang.
Dalam konteks ini, evaluasi belajar sangat membantu guru dalam:
-          mengetahui status anak didik dalam kelasnya.
-          menempatkan murid dalam kelompok tertentu dalam kelasnya, berdasarkan kesamaan kesukaran yang dihadapi atau kesamaan kemampuan dalam kecakapan-kecakapan tertentu.
-          memperbaiki metode mengajarnya.
-          memberikan tambahan pengajaran/ pengajaran pembinaan.
c.       dasar administratif.
Dasar administratif adalah dasar/ alasan diadakannya evaluasi  untuk memenuhi keperluan administratif yang secara garis besar adalah sebagai berikut:
-          memberikan data untuk dapat menentukan status anak didik dalam kelasnya, yaitu apakah seorang anak didik naik kelas atau tidak atau apakah anak didik lulus atau tidak.
-          memberikan data-data umum tentang usaha yang telah dilakukan oleh sebuah lembaga pendidikan.
-          menyediakan laporan secara administratif tentang prestasi siswa baik secara individual maupun secara komunal kepada pejabat pemerintah, orang tua, dan juga murid.[59]
Sedangkan aspek yang dievaluasi meliputi:
  1. komponen tujuan instruksional yang meliputi aspek-aspek tujuan, abilitas yang ada didalamnya, jumlah dan waktu yang tersedia untuk mencapainya, kesesuaian dengan kurikulum yang berlaku.
  2. komponen bahan pengajaran yang meliputi kesesuaian dengan tujuan, tingkat kesulitan bahan, kemudahan mempelajarinya, sumber-sember dalam mempelajarinya, waktu yang tersedia dan-lain-lain.
  3. komponen siswa yang meliputi minat, perhatian, motivasi, sikap, cara belajar, kebiasaan belajar, kesulitan belajar, fasilitas belajar, interaksi sosial.
  4. komponen guru, yang meliputi, penguasaan materi pengajaran, keterampilan mengajar, pengalaman mengajar, kemampuan berinteraksi dengan murid, pengelolaan kelas, keperibadian, variasi pengunaan metode dan lain-lain.
  5. komponen alat dan sumbr balajar, yang meliputi: jenis alat dan jumlahnya, kelengkapannya, penggunaannya, pengadaannya dan lain-lain
  6. komponen penilaian, yang meliputi jenis alat evaluasi, ciri dan rumusan pertanyaan, waktu pelaksanaan, pemeriksaan, tindak lanjut, administrasi penilaian, tingkat kesulitan, validitas, realibitas dan lain lain.[60]

C.SYARAT DAN JENIS ALAT EVALUASI
Dalam melaksanakan evaluasi, harus menggunakan alat evaluasi yang memiliki syarat-syarat sebagai berikut:
  1. Reabilitas.
Reabilitas berarti tahan uji atau terpercaya. Sebuah alat evaluasi dipandang reable (tahan uji) kalau memiliki keajegan atau konsistensi hasil. Artinya, jika sekelompok murid atau seorang murid diuji dengan menggunakan alat tertentu menghasilkan “X”, maka pada saat yang lain jika sekelompok orang murid atau murid tersebut  diuji dengan alat yang sama akan menghasilkan “X” juga.
  1. Validitas.
Sebuah alat evaluasi dinyatakan valid (absah) jika ia dapat mengukur apa yang seharusnya diukur.[61]
  1. Objektivitas.
Suatu alat evaluasi harus dapat mengukur apa yang harus diukur, tanpa adanya interpretasi terhadap apa yang tidak terkait dengan alat ukur tersebut. Guru harus menilai semua siswa tanpa adanya perbedaan-perbedan terhadap siswa.
  1. Effisiensi.
Alat evaluasi harus dapat digunakan tanpa memerlukan banyak waktu dan biaya, dengan cara memilih alat yang tepat.[62]
Untuk mencapai tujuan  evaluasi, maka guru harus dapat menentukan jenis alat evaluasi yang harus digunakan sehingga dapat berhasil dengan optimal. Jenis-jenis alat evaluasi adalah sebagai berikut:
  1. Tes objektif, yang jawabannya diberi skor nilai secara lugas (seadanya) menurut pedoman yang telah ditentukan sebelumnya. Tes ini terdiri  dari tes benar-salah, tes pilihan berganda, tes mencocokkan, tes lisan, dan tes melengkapi.
  2. Tes subjektif, adalah pengukur prestasi belajar yang jawabannya tidak ternilai dengan skor atau angka pasti sebagaimana di tes obyektif, karena banyaknya variasi jawaban yang diberikan siswa. Alat evaluasi ini biasanya mengambil bentuk essay examination.

  1. PRESTASI BELAJAR
Prestasi belajar merupakan indikator kualitas yang telah dikuasi oleh anak didik, yang juga menggambarkan hasil suatu sistem pendidikan.[63] Sedangkan Djamarah menyatakan, prestasi belajar adalah hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan dan diciptakan baik secara individual maupun secara kelompok.[64]
Sementara itu yang mempengaruhi prestasi belajar adalah sebagai berikut:
  1. faktor interen, adalah  berkaitan dengan perkembangan dan keadaan jasmani, baik  kesehatan, kekuatan belajar, konsentrasi belajar, kemampuan panca indera, sebagaimana yang dinyatakan oleh Sujanto: “semakin banyak alat indera yang berfungsi, semakin banyak pesan yang dapat ditangkap.”[65]
  2. faktor eksteren, yaitu faktor dari luar individu yang terdiri dari faktor sosial dan faktor non sosial. Faktor sosial meliputi kepribadian guru, status sosial anak, situasi sosial ekonomi dan kontak dengan orang tua.[66]
Pengungkapan hasil belajar yang ideal harus meliputi seluruh ranah psikologis yang dapat berubah sesuai pengalaman yang berkembang dalam proses belajar. Namun demikian untuk mengungkap hasil belajar itu, khususnya ranah afektif, kadang sulit dilakukan. Oleh karena itu yang dapat dilakukan guru adalah mengambil cuplikan dari perubahan prilaku yang dianggap penting dan mewakili aspek-aspek ranah tersebut.
            Dalam menetapkan prestasi belajar, guru harus menetapkan batas minimal yang harus dicapai anak didik dalam proses belajarnya.  Menetapkan batas minimal keberhasilan belajar siswa selalu berkaitan dengan upaya pengungkapan hasil belajar. Ada beberapa norma pengukuran untuk mengungkap tingkat keberhasilan siswa, yaitu skala 1-10 dan skala 1-00. Dengan menetapkan skala tadi, maka dapat ditetapkan batas minimal keberhasilan siswa. Misalnya pada skala 1-10, siswa dinyatakan berhasil jika mendapat nilai 6 keatas dan pada skala 1-100,  siswa dinyatakan berhasil jika mendapat nilai 60 keatas. Sebaliknya mereka mendapatkan niali dibawah 6 dan 60 dinaytakan gagal studi.                      
WALLAHU A’LAM BISHSHAWAB


[48] Takashi Fujishima, Handbook of care and Training for Developmental Disabilities (Tokyo: Japan Language For The Mentally Retarded,1992) hal. 26
[49] Molyono Abdurrahman,  Pendidikan Bagi Anak Kesulitan Belajar,( Jakarta: Rineke Cipta 2003), hal 7
[50] Leigh D. D. Hammil, “A New Definition of Learning Disabilities”, Learning Disabilities Quarterly, 4 ($), 336-342
[51] Abu Ahmadi, Psikologi Belajar, (Jakarta, Rineke Cipta, 2003) hal.77
[52] Ibid, hal ..79-95
[53] Muhibbin, Psikogi Pendididikan,34
[54] Mulyono Abdurrahman,  Pendidikan , 118
[55] Abu Ahmadi, Psikologi Belajar, 97-100
[56] Muhibbin, Psikologi Pendidikan, 141
[57] Prasetya Irawan, “EValuasi Proses Belajar Mengajar: dalam Mengajar di Perguruan Tinggi, PAU-PPAI (Jakarta: Universitas Terbuka, 1997), 23,
[58] Abu Ahamdi, Psikologi Belajar, hal. 200
[59] Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, hal. 197-202
[60] Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar,( Bandung : Remaja Rosdakarya, 1990), hal 58-58
[61] Muhibbin, Psikologi Pendidikanr, hal. 147
[62] Omar Hamalik,Psikologi Belajar, hal.208
[63] Sujono,  Korelasi Motivasi Belajar dengan Prestasi Belajar, Jurnal, Realita, Volum 3 Juli, 2005, hal. 224
[64] Djamarah, Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru, (Surabaya: Usaha Nasional, 1984), 56
[65] Sumanto, Kepemimpinan dalamPendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982),hal. 19
[66] Winkel,Psikoolgi Pendidikan (Jakarta: Gramedia, 1983)162

Tidak ada komentar:

Posting Komentar